Jumat, 02 Oktober 2015

Hadist dan Sunnah

Hadits dan Sunnah Kalau kita memakai pendapat yang dominan di kalangan para ahli hadits, terutama dari angkatan baru, maka kita akan tahu bahwa sesungguhnya hadits dan sunnah itu memiliki pengertian yang sama, yang satu bisa digunakan untuk yang lain. Masing – masing (Hadits dan Sunnah) berkaitan dengan ucapan, perbuatan, atau penetapan Nabi SAW, namun, jika keduanya dekembalikan kepada asal-usul kesejarahannya, ternyata terdapat sedikit perbedaan antara keduanya dalam penguunaan, baik dari segi bahasa maupun istilah. Hadits, sebagaimanan tinjauan Abdul Baqa adalah isim (kata benda) dari tahdits yang berarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. arti “Pembicaraan” ini telah dikenal oleh masyarakat Arab di zaman jahiliyah sejak mereka menyatakan “Hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ahadits (buah pembicaraan) barang kali al-Farra’ telah memahami arti ini ketika berpendapat bahwa mufrad kata ahadits adalah uhdutsah (buah pembicaraan). Lalu kata ahadits itu dijadikan jamak dari kata hadits. Dari sini, populer ungkapan shaara uhdutsah atau shaara haditsan (dia menjadi buah pembicaraan), jika (dia) dijadikan pepatah. Penyair Abu Kildah munggunakan kata atsal (pepatah) dan uhdusah dalam sebaris puisinya, seolah – olah untuk menunjukkan kesamaan arti keduanya: “janganlah jadi buah pembicaraan seperti pembicara, Yang dijadikan pepatah oleh mereka yang berpepatah. Betapapun materi hadits diubah-ubah, kita selalu dapat menemukan arti pembicaraan secara jelas di dalamnya, termasuk dalam firman Allah Ta’ala: Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat (Perkataan/pembicaraan) semisal al-Qur’an (surah ath – thur, 34, dan firman Allah: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al – Qur’an yang serupa (mutu ayat – ayatnya)” (Surah Az – Zumar, 23) Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti baru dalam kata hadits lalu merekam menggunakannya sebagai lawan kata qadim (lama), dengan memaksudkan qadim sebagai kitab Allah, sedangkan yang baru ialah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW.. dalam Syarah al – Bukhari, Syeikh Islam Ibnu Hajar berkata: “yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian Syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. dan hal itu seakan-akan dimakudkan sebagai bandingan al-Qur’an adalah Qadim. Ini menerangkan dengan sangat jelas kepada kita akan keengganan sebagian besar ulama menggunakan nama hadits untuk kitab Allah, atau mengganti “kalam Allah”. Bahkan dalam sunan Ibnu majah terdapat sebuah riwayat hadits nabi yang nyaris memastikan keharusan sikap dan tata krama tersebut. Bersumpah dari Abdullah bin Mas’ud, disebutkan bahwa Rasulullah SAW.. pernah bersabda, “Sesungguhnya hanya ada dua: kalam dan petunjuk. Sebaik – baik kalam adalah kalam Allah dan sebaik – baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Kalau kita menjumpai dalam kebanyakan kitab sunan ungkapan: “sesungguhnya sebaik – baik hadits (perkataan) adalah kitab Allah,” lalu kita menemukan Ibnu Majah sendiri meriwayatkan,” sebaik – baik kalam..” maka tahulah kita bahwa tidak mustahil wara’ (Sikap menghindar dan tata krama) itulah yang mendorongnya memilih ungkapan tersebut. Sedikitnya dasar pegangan kita untuk itu adalah bahwa di kalangan ulama ada yang merasa berat menggunakan kata hadits untuk kitab Allah yang Qadim. Nabi SAW.. sendiri menanamkan sabdanya sebagai hadits. Dan agaknya dengan penamaan itu beliau membedakan apa yang disandarkan kepada beliau dengan yang lainnya. Sehingga seakan – akan beliaulah yang meletakkan dasar – dasar bagi penamaan hadits selanjutnya. Suatu hari Abu Hurairah datang kepada Nabi SAW.. untuk menanyakan tentang orang yang paling berbahagia memperoleh syafaat beliau tahu tak seorang pun pernah menanyakan hadits (pembicaraan) ini sebelum Abu Hurairah. Itu adalah karena antusiasmenya mencari hadits. Sunnah pada dasarnya tidak sama dengan hadits. Mengikuti arti bahasanya, sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi SAW.. yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Apabila hadits bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka sunnah khusu berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau. Karena perbedaan dua pengertian ini, kadang – kadang kita mendapati uacapan ahli hadits: hadis menyalahi kias, sunnah dan ijma’. Atau ucapan: Imam dalam hadis”, imam dalam sunnah, imam dalam keduanya. Yang lebih aneh lagi, kedua pengertian tersebut satu sama lain justru saling menguatkan, seakan – akan berbeda sama sekali, sehingga sah saja bila Ibnu Nadim menyebutkan sat kitab dengan judul: Kitab Sunan dengan Dalil Hadits. Ketika islam memberi jalan dengan kata sunnah, orang – orang arab tidak terkejut. Mereka sudah mengenalnya dengan arti ini, sebagaimana mereka mengenal lawan katanya, bid’ah. Mereka paham sekali makna itu, sampai ketika disandarkan kepada Asma Allah yang agung, seperti dalam firman-Nya: sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang – orang yang telah terdahulu sebelumnya.” (Surah Al – Ahzab: 62). Adapun orang – orang yang mendengar lafadz sunnah itu dari Nabi seperti dalam sabdanya: “hendaknya kalian berpegang teguh kepeda Sunnah-Ku”, maka pada saat itu adalah jalan dan cara Nabi SAW.. dalam kehidupan beliau, baik yang bersifat khusu maupun umum. Madinah al – Munawwarah seperti yang akan kita ketahui Kendati di banyak kalangan sebutan sunnah lain dengan sebutan hadits, setidak tidaknya anggapan adanya persamaan , atau kemiripan konotasi antara keduanya menghinggapi para kritikus hadits, bukankah sunnah amaliyah itu tidak lain daripada thariqah. Nabi yang oleh beliau dikuatkan dengan sabda – sabdanya yang bijaksana, dan petunjuk – petunjuknya yang benar lagi terarah? Apakah tpik sunnah itu berbeda dengan topik hadits?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar