Sabtu, 10 Oktober 2015

Mengenal Tuhan "Ilmu Kalam"

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Banyak orang yang mengaku mengenal Allah, tapi mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah SWT.. Sebabnya karena mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya-benarnya. Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya? Sekilas membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan suatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal demikian dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua? Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian. Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu, mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan yang hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menentramkan hati kita ketika orang-orang mengalami gundah – gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam masalah hidup. Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal. Tanpa pengenalan akan Allah yang benar, kita tidak akan memiliki pengenalan yang benar mengenai diri. Kalimat yang terkenal ini diambil dari buku terkenal hasil karya John Calvin, Bapak Reformator di kota Jenewa. Cara mengenal Allah banyak bentuknya, pada makalah ini penulis akan membahas cara mengenal Allah melalui sifat dan hidayah-Nya. 2. Tujuan Makalah - Memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam - Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami bagaimana mengenal Tuhan. BAB II ISI 1. Mengenal Allah Melalui Sifat-Nya Sebagai Sang Khalik, Allah SWT. memiliki sifat-sifat yang tentunya tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia ataupun makhluk lainnya. Dengan mengenal sifat-sifat Allah seseorang dapat meningkatkan keimanannya. Jika seseorang yang mengaku mengenal dan meyakini Allah itu ada namun ia tidak mengenal sifat Allah, maka ia perlu lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.. Sifat Wajib Tulisan Arab Maksud Sifat Sifat Mustahil Tulisan Arab Maksud Wujud ﻭُﺟُﻮْﺩ Ada Nafsiah Adam ﻋَﺪَﻡْ Tiada Qidam ﻗﺪَﻡْ Terdahulu Salbiah Huduts ﺣُﺪُﻭْﺙْ Baru Baqa ﺑَﻘَﺎﺀ Kekal Salbiah Fana ﻓَﻨَﺎﺀ Berubah-ubah (akan binasa) Mukhalafatu lilhawadis ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ Berbeda dengan makhluk-Nya Salbiah Mumathalatuhu lilhawadith ﻣﻤﺎﺛﻠﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ Sama dengan makhluk-Nya Qiyamuhu binafsihi ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ Berdiri sendiri Salbiah Qiamuhu bighairih ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻐﻴﺮﻩ Berdiri-Nya dengan yang lain Wahdaniyat ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺔ Esa (satu) Salbiah Ta'addud ﺗﻌﺪﺩ Lebih dari satu (berbilang) Qudrat ﻗﺪﺭﺓ Kuasa Ma'ani Ajzun ﻋﺟﺰ Lemah Iradat ﺇﺭﺍﺩﺓ Berkehendak (berkemauan) Ma'ani Karahah ﻛﺮﺍﻫﻪ Tidak berkemauan (terpaksa) Ilmu ﻋﻠﻢ Mengetahui Ma'ani Jahlun ﺟﻬﻞ Bodoh Hayat ﺣﻴﺎﺓ Hidup Ma'ani Al-Maut ﺍﻟﻤﻮﺕ Mati Sama' ﺳﻤﻊ Mendengar Ma'ani Sami ﺍﻟﺻمم Tuli Basar ﺑﺼﺮ Melihat Ma'ani Al-Umyu ﺍﻟﻌﻤﻲ Buta Kalam ﻛﻼ ﻡ Berbicara Ma'ani Al-Bukmu ﺍﻟﺑﻜﻢ Bisu Qaadiran ﻛﻮﻧﻪ ﻗﺎﺩﺭﺍ Keadaan-Nya yang berkuasa Ma'nawiyah Ajizan ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﺟﺰﺍ Keadaan-Nya yang lemah Muriidan ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺮﻳﺪﺍ Keadaan-Nya yang berkehendak menentukan Ma'nawiyah Mukrahan ﻛﻮﻧﻪ مكرها Keadaan-Nya yang tidak menentukan (terpaksa) 'Aliman ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﻟﻤﺎ Keadaan-Nya yang mengetahui Ma'nawiyah Jahilan ﻛﻮﻧﻪ ﺟﺎﻫﻼ Keadaan-Nya yang bodoh Hayyan ﻛﻮﻧﻪ ﺣﻴﺎ Keadaan-Nya yang hidup Ma'nawiyah Mayitan ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻴﺘﺎ Keadaan-Nya yang mati Sami'an ﻛﻮﻧﻪ ﺳﻤﻴﻌﺎ Keadaan-Nya yang mendengar Ma'nawiyah Ashamma ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺻﻢ Keadaan-Nya yang tuli Bashiiran ﻛﻮﻧﻪ ﺑﺼﻴﺭﺍ Keadaan-Nya yang melihat Ma'nawiyah A'maa ﻛﻮﻧﻪ ﺃﻋﻤﻰ Keadaan-Nya yang buta Mutakalliman ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺘﻜﻠﻤﺎ Keadaan-Nya yang berbicara Ma'nawiyah Abkam ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺑﻜﻢ Keadaan-Nya yang bisu 2. Mengenal Allah Melalui Hidayah-Nya Allah memberikan Hidayah kepada makhluknya untuk menjalankan hidupnya dengan mudah sesuai dengan karakteristiknya masing-masing: 2.1. Instink (Gharizah) Merupakan hidayah yang dianugerahkan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada binatang. Secara Instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang-orang primitif. Tylor justru mengatakan bahwa animisme –anggapan adanya kehidupan pada benda-benda mati– merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa Animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal – usul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang suka mengalami mimpi. Di dalam mimpi, seorang dapat berteman terhadap, bercakap-cakap, bercengkerama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam lainnya. Abbas Mahmoud Al-Akkad, pada bagian lain, mengatakan bahwa sejak pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap benda – benda alam berkembang secara beragam. Di Mesir, masyarakatnya memuja Totetisme. Mereka menganggap suci terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa ( semacam anjing hutan ), buaya, dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari. Dari sini berkembang lagi menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif, telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William L. Reese mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos ( thelogia was originally viewed as concerned with myth ). Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi “ theology natural “ ( teologi alam ) dan “revealed theology “ ( teologi wahyu ). 2.2. Panca Indra Yaitu, petunjuk yang dianugerahkan berupa pendengaran, penglihatan, penciuman, dll. Dengan indra, manusia dapat membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya. Akan tetapi, hidayah dalam bentuk ini belum dapat mengantarkan manusia kepada kebenaran, karena kemampuannya yang sangat terbatas. Karena itu, Allah SWT.. menyempurnakan hidayah ini dengan hidayah akal. Setiap manusia mempunyai pendapat dan prinsip tersendiri terhadap apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan.Setelah kita mengenal Tuhan melalui Insting selanjutnya kita mengenal Tuhan melalu Panca Indra. Dari 5 panca indra kita yang berfungsi, kita dapat melihat bahwa kebesaran Allah ada dimana-mana, dari sekeliling kita sudah banyak bukti-bukti kebesaran Allah yang kita jumpai. Seperti halnya Lautan yang membentang lepas dua benua, gunung-gunung dengan fenomena lautan, awan, dan lain sebagainya. Tidak hanya dari penglihatan namun kita juga bisa mendengar, contoh kecil saja kita dapat mendengar orang-orang atau makhluk hidup disekitar kita, kita dapat mendengar deburan ombak yang padahal hanyalah benda mati namun itulah kekuasaan Allah. Selain melihat dan mendengar kita juga dapat mengenal Tuhan dengan cara merasakan, merasakan hal-hal yang tak kasat mata seperti angin, merasakan dinginnya hawa dan air disekitar pegunungan, dan lain sebagainya. 2.3 Akal Yaitu, hidayah akal berupa kemampuan akal untuk memikirkan, memahami, dan mengetahui suatu objek, yang akan dapat membawanya kepada kebenaran dan keselamatan hidup. Al-Qur’an menganjurkan manusia agar memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya, serta memeikirkan, memahami, dan mengetahui seluk beluknya sebagai ciptaan Allah SWT. Guna memantapkan keimanannya, seperti terlihat pada Q.S. Ali Imron : 190 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda – tanda begai orang-orang yang berakal. Nalar / akal berfungsi dalma batasan-batasan panca indra dan tidak bisa lepas darinya. Akal jarang sekali mampu menangkap apa yang di luar jangkauan panca indera, bahkan dalam kegiatan lahiriah kadang bertentangan dengan nafsu, dan seringkali nafsu itulah yang mennag. Akal dengan jelas menunjukkan bahwa suatu perbuatan tertentu akan menyebabkan luka, akan tetapi nafsu memaksa untuk mengabaikan akal. Di sinilah dibutuhkan hidayah yang keempat, yaitu hidayah Ad-Dien yang merupakan karunia ilahi kepada manusia yang terbesar. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diperoleh dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib . Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah pula wajib . Dari aliran Asyariah, Al-Aasyari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah diatas. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyu lah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterimakasih kepadaNya juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepadaNya akan mendapat hukuman. Pendapat Al-Asy’ari akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Tapi wahyu membawa kewajiban-kewajiban itu. Menurut Al-Baghdadi, akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan karena segala kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Al-Ghazali, seperti Al-Asy’ari dan Al-Baghdadi, juga berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia ; kewajiban-kewajiban dapat ditentukan oleh wahyu. Adapun pendirian Al-Syahrastani, itu dapat diketahui dari buku-buku yang berjudul Nihayah al-iqdam fi ‘ilm al-kalam. Ia sependapat dengan Al-Asy’ari. Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterimakasih kepada Tuhan. Dengan demikian bagi Al-Maturidi akal dapat mengetahui 3 persoalan pokok, sedangkan yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui melalui wahyu. 2.3. Agama Hidayah Ad-Dien (Petunjuk Agama), yaitu berupa wahyu yang diturunkan Allah SWT.. kepada Rasul untuk disampaikan kepada umatnya atau kepada manusia seluruhnya, untuk dijadikan sebagi pedoman hidup guna mencapai kebahagiaan haqiqi di dunia dan akhirat. Wahyu tersebut kemudian dibukukan dan disebut kitab suci. Kitab suci terakhir yang diturunkan Allah kepada umatnya ialah Al-Qur’an, yang diturunkan Allah SWT.. kepada Nabi Muhammad SAW.. sebagai hidayah untuk segenap manusia. Hidayah hanya milik Allah SWT. Oleh sebab itu, tidak seorang pun yang dapat memberikannya selain Allah SWT; baik dalam bentuk hidayah yang umum atau yang khusus. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah SWT.. dalam (Q.S. Al-Qashas : 56) Sesungguhnya kamu tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakinya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerimapetunjuk.” BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Dari penjelasan yang telah penulis uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa: Setelah mengetahui sifat – sifat Tuhan dan hidayah-Nya penulis dan pembaca dapat mengenal Tuhan dengan sesungguhnya tidak hanya pada saat-saat tertentu dan dapat menjalankan segala perintah serta menjauhi segala larangan-Nya. Dan hal yang muncul adalah rasa takut dan senantiasa bertawakal, berharap, menggantungkan diri dan tunduk hanya kepada Allah semata yang maha segala – galanya. Sesungguhnya apa yang Tuhan ciptakan, apa yang ada dalam diri manusia sendiri adalah semua untuk menunjukan kekuasaan-Nya supaya manusia senantiasa bersyukur dan tidak menyombongkan diri atas-Nya. Instink, Panca Indra, Akal, dan Agama semuanya menjawab dari manakah kita sesungguhnya, sehingga manusia dengan akalnya yang sehat bisa mengenal siapa Dien-Nya. Dengan segala kekurangan dalam makalah ini, penulis mohon maaf. Semoga makalah ini sedikit banyaknya dapat bermanfaat dan dapat semakin mendekatkan pembaca dengan Tuhan-Nya. DAFTAR PUSTAKA Al-Akkad, op. cit., hlm. 14 Al Iqtisad, hal 84 Al-milal., I/42 Ibid hal. 15, 42, 50, 51, 45, 101. Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press) Salemba. 1972. Cet. Ke-5 Raziq, op., cit., hlm. 450 http://jalanlurus.blogspot.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1 dilihat pada 17 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar