Jumat, 16 Oktober 2015

Islam, Wanita, Kebebasan, dan Keistimewaan

Wanita, Islam, Kebebasan, dan Keistimewaan Pembahasan tentang hal ini mungkin tidak akan pernah usai, apalagi dengan zaman yang semakin carut-marut seperti ini. Kebebasan sudah jadi hal yang sangat lumrah. Namun, kebebasan pada zaman ini kebebasannya sangat miris karena ada beberapa kebebasan yang disalahgunakan alias kebebasan Negatif. FYI guys, buku karya Abdul Halim Abu Syuqqah sudah ada enam jilid, dan itu hanya membahas mengenai kebebasan wanita. Hebat banget yah wanita heheheee... judul bukunya adalah ‘Kebebasan Wanita’. Seperti itulah wanita, sejak zaman jahiliyah sampai zaman teknologi yang berkembang pesat seperti detik ini memang wanita selalu jadi pusat perhatian. Wanita itu subhanallah. Dari rahimnya lahir para mujahid-mujahid yang insyaallah membela agama Allah, agama yang rahmatan lil alamin. Dari ASInya yang mengalir di setiap aliran darah sang anak adalah pahala dan perjuangan. Dari didikannya, tumbuhlah muslim-muslim muda yang memajukan dan mengembangkan Islam sesuai syariat yang sudah diajarkan Rasulullah SAW. Kebebasan Wanita dan kesetaraan gender(?) nampaknya hal ini sangat menarik. Semenjak Islam datang, Islam sangat mengistimewakan wanita. Zaman jahiliyah dulu, wanita sungguh miris keadaannya. Sebelum wanita lahir pun wanita sudah tak diinginkan, katanya wanita itu aib. Ketika ia dilahirkan, wanita dikubur hidup-hidup. Terutama Ibu. Sampai-sampai kata Nabi, Ibu tiga kali lebih tinggi derajatnya dibanding Ayah. Surga di telapak kaki Ibu. Al Ummi madrasatul uula. Wanita itu ratu di rumah, segala yang mengatur urusan rumah tangga itu wanita. Ada beberapa rumah tangga yang kandas karena wanita bekerja siang malam bukan. Wanita (Ibu) itu segala-galanya bagi putra-putrinya. Ada pepatah mengatakan ‘Dibalik lelaki hebat, di sana ada wanita hebat’, lelaki bukan apa-apa jika tanpa wanita. Ayo hargai wanita, jangan mau disetarakan gendernya. Wanita lebih istimewa daripada pria. Ngapain wanita harus berlelah-lelah di luar bekerja. Padahal ada pria yang wajib menafkahinya? Kalo niatnya untuk ngebantu, boleh-boleh saja. Jika wanita yang bekerja karena suaminya kurang beruntung (punya keistimewaan) yang mungkin bisa membuat si pria itu sulit untuk mencari kerja. Dan si wanita yang kerja, ia percaya rejeki suaminya ada pada rejekinya. Dan ia rela, ikhlas menafkahi suaminya itu, surga ada di genggamannya. “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (bulan ramadhan), menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya. Mak, dikatakan kepadanya, Masuklah engkau ke surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (H.R. Ahmad) Wanita dijaga oleh Islam dengan Hijabnya. Hijab untuk wanita itu bukan menjadi alasan keterbatasan. Tapi itu adalah alat untuk menjaga wanita, karena wanita sangat istimewa. Wanita menundukkan pandangannya karena menghindari hal-hal yang tidak halal baginya untuk dilihat. Dengan hijabnya yang mengulur sampai ke dadanya, wanita jadi bebas beraktivitas seperti apa saja. Karena, wanita jadi tidak risih. Islam sangat menjaga dan mengistimewakan wanita. Sejak dulu hingga sekarang dan sampai nanti. Karena Islam adalah agama yang sudah disetting Allah sedemikian rupa untuk zaman model apapun.

Kamis, 15 Oktober 2015

Sinopsis Cerpen 'Luka Yang Indah'

Luka yang Indah –Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk tidak melihat orang yang dicintainya terus menerus terluka– Penderitaan diawali ketika pilihan seorang remaja yang rela meninggalkan keluarga demi menikah dengan seorang pemuda desa yang sangat dicintai. Penderitaannya terus berlanjut hingga hembusan nafas terakhirnya. Kepedihan berlanjut ketika anak semata wayangnya yang sudah sangat diharapkan meninggalkan mereka, kejadian tersebut terjadi saat Timah mengantarkan makanan untuk suaminya –Daman–. Daman....lelaki miskin yang hanya bisa memegang cangkul dan tali kerbau, memilih untuk menyerah dan mengantar nyawa istrinya –Timah– yang telah dinikahinya dengan penuh pengorbanan dan dijalani dengan penuh kesengsaraan ke sisi Tuhan dengan caranya sendiri, yang mungkin menurutnya bisa mengurangi sakit dan kepedihan luka yang harus ditanggung wanitanya itu. Betapapun hebat dan kuatnya seorang laki-laki, ia tidak akan pernah sanggup melihat orang yang dikasihinya bertahan hidup dalam pesakitan. Dan ia lebih memilih untuk menahan lukanya sendiri daripada melihatnya terluka. Kisah tentang perjalanan hidup sebuah rumah tangga yang diawali dengan pengorbanan seorang wanita yang amat sangat namun berakhir tragis digenggaman pasangannya sendiri. Pengorbanan, kepedihan, kesabaran, kebersamaan selama beberapa tahun, namun berujung pada kerelaannya melihat perempuan yang dicintainya mengejang, mengelepar, lalu pergi meninggalkannya untuk selamanya di pagi buta yang diiringi oleh kristal-kristal bening dari sepasang mata Daman.

Contoh Resensi Novel 'Jejak Luka'

Judul : Jejak Luka dan Kisah-kisah Lainnya Pengarang : Azwar Sutan Malaka Penerbit : Mujahid Press dan Nusantara Institute Tahun Terbit : 2014 Tempat Terbit : Bandung ISBN : 978-979-762-248-0 Tebal Buku : xix × 141 Halaman Dimensi : 14,5 cm × 20,5 cm Harga : Rp. 35.000,- Novel karya Azwar Sutan Malaka yang lulusan pascasarjana di Universitas Indonesia Jurusan Ilmu Komunikasi dikhususkan untuk membawa pembaca, supaya melihat dan merasakan kondisi sosial yang terjadi pada manusia kurang beruntung, setidaknya agar peduli atau sebagai pembelajaran. Serta menyadarkan mereka bahwa ada beberapa peraturan adat yang membuat perempuan semakin lemah, menyudutkan dan membuat terkekang. Novel ini adalah novel yang mengupas tuntas tentang seseorang yang bertahan memperjuangkan kehidupannya dan terbagi menjadi tigabelas cerita pendek. Masing-masing cerita mengangkat tentang luka, untuk orang yang pernah membuat luka, orang yang sedang membuat luka, orang yang pernah terluka, ataupun untuk orang yang akan mengukir luka. Dan luka itu pun tak hanya dilakukan oleh musuh, namun juga dilakukan oleh orang-orang yang harusnya menjadi pelindung, yang jadi tempat berkeluh kesah, yang menjadi imam dan contoh, serta oleh orang yang sangat disayangi. Dalam setiap cerita dikisahkan konflik-konflik yang kebanyakan didominasi kelemahan-kelemahan perempuan, dan kelemahan karena kemiskinan. Sebagai pemeran utama dalam cerita tersebut, perempuan dan peran-peran lain digambarkan hanya menjadi pihak yang menderita, teraniaya, tidak memiliki pelindung, tidak mempunyai keberanian untuk membela diri. Keunggulan Buku : Buku ini memiliki keunggulan dari cara penulis mengangkat adat yang mungkin sudah lumrah terjadi di lingkungan para pembaca. Jadi pembaca bisa lebih peka dan sadar. Kelemahan Isi Buku : Pemilihan kata-kata di dalam novel ini mungkin ada beberapa yang terlalu vulgar, ketika membaca novel ini bisa saja pembaca langsung beranggapan semua cerita isinya sama. Dalam buku ini penulis terlalu melemahkan perempuan, sehingga mungkin saya sendiri sebagai pembaca dan juga sebagai perempuan, menganggap kaum pria terlalu kejam, mereka tak punya hati nurani. Saran-saran terhadap buku ini : Agar Pengarang lebih kreatif jangan hanya menggunakan adat minang, padahal di Indonesia mempunyai banyak suku dengan adat istiadatnya masing-masing. Jadi, mungkin bisa lebih berwarna-warni supaya pembaca juga tahu adat dari daerah lain. Kurangi mengulang nama-nama tokoh, supaya pembaca tidak bosan. Penulis jangan hanya mengangkat kelemahan perempuan saja, padahal perempuan mempunyai sisi lain yang bisa kapan saja muncul. Ketika mengetik supaya lebih teliti lagi. Karena banyak typo atau kesalahan ketik (di sampul, di hal 3, 11, 28, 31, 37, 42, 48, 49, 54, 56, 58, 62, 63, 65, 71, 76, 77, 85, 96, 98, dst.) dan ada beberapa kata yang ambigu bahasanya rancu (Hal 1, 29, 99), ataupun yang tumpang tindih (hal 28, 99, ). Dan ada beberapa tanda baca yang tidak sesuai. Hikmah dari beberapa cerita dalam buku ini belum terlalu menonjol, karena kebanyakan cerita hanya menguras air mata para tokoh dan membuat pembaca semakin ngeri dan cerita hanya mengangkat keadaan yang seakan tersudutkan, amanatnya sangat tersirat. Penjelasan sebaiknya semuanya memakai footnote supaya pembaca tidak repot. Karena ada beberapa cerita yang berbau dewasa, buku ini tentunya tak pantas jika dibaca oleh anak-anak di bawah umur. Manfaat Isi Buku : Sebagai bahan pembelajaran pembaca supaya lebih sadar dan peduli dengan orang-orang di luar sana yang masih terkekang oleh adat serta mampu menghentikan dominasi Pria. Membahas masalah kelemahan perempuan dan seputarnya memang takkan ada habisnya apalagi hati perempuan yang terlalu sensitif, di manapun perempuan berada bahaya selalu mengancam, bahkan rumah pun bisa jadi tempat paling berbahaya. Namun, bukan hanya rumah yang berbahaya, orang-orang rumah pun sewaktu-waktu bisa saja menjadi orang yang paling berbahaya bagi perempuan.

Sabtu, 10 Oktober 2015

Mengenal Tuhan "Ilmu Kalam"

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Banyak orang yang mengaku mengenal Allah, tapi mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah SWT.. Sebabnya karena mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya-benarnya. Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya? Sekilas membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan suatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal demikian dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua? Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian. Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu, mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan yang hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menentramkan hati kita ketika orang-orang mengalami gundah – gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam masalah hidup. Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal. Tanpa pengenalan akan Allah yang benar, kita tidak akan memiliki pengenalan yang benar mengenai diri. Kalimat yang terkenal ini diambil dari buku terkenal hasil karya John Calvin, Bapak Reformator di kota Jenewa. Cara mengenal Allah banyak bentuknya, pada makalah ini penulis akan membahas cara mengenal Allah melalui sifat dan hidayah-Nya. 2. Tujuan Makalah - Memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam - Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami bagaimana mengenal Tuhan. BAB II ISI 1. Mengenal Allah Melalui Sifat-Nya Sebagai Sang Khalik, Allah SWT. memiliki sifat-sifat yang tentunya tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia ataupun makhluk lainnya. Dengan mengenal sifat-sifat Allah seseorang dapat meningkatkan keimanannya. Jika seseorang yang mengaku mengenal dan meyakini Allah itu ada namun ia tidak mengenal sifat Allah, maka ia perlu lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.. Sifat Wajib Tulisan Arab Maksud Sifat Sifat Mustahil Tulisan Arab Maksud Wujud ﻭُﺟُﻮْﺩ Ada Nafsiah Adam ﻋَﺪَﻡْ Tiada Qidam ﻗﺪَﻡْ Terdahulu Salbiah Huduts ﺣُﺪُﻭْﺙْ Baru Baqa ﺑَﻘَﺎﺀ Kekal Salbiah Fana ﻓَﻨَﺎﺀ Berubah-ubah (akan binasa) Mukhalafatu lilhawadis ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ Berbeda dengan makhluk-Nya Salbiah Mumathalatuhu lilhawadith ﻣﻤﺎﺛﻠﺘﻪ ﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ Sama dengan makhluk-Nya Qiyamuhu binafsihi ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ Berdiri sendiri Salbiah Qiamuhu bighairih ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻐﻴﺮﻩ Berdiri-Nya dengan yang lain Wahdaniyat ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺔ Esa (satu) Salbiah Ta'addud ﺗﻌﺪﺩ Lebih dari satu (berbilang) Qudrat ﻗﺪﺭﺓ Kuasa Ma'ani Ajzun ﻋﺟﺰ Lemah Iradat ﺇﺭﺍﺩﺓ Berkehendak (berkemauan) Ma'ani Karahah ﻛﺮﺍﻫﻪ Tidak berkemauan (terpaksa) Ilmu ﻋﻠﻢ Mengetahui Ma'ani Jahlun ﺟﻬﻞ Bodoh Hayat ﺣﻴﺎﺓ Hidup Ma'ani Al-Maut ﺍﻟﻤﻮﺕ Mati Sama' ﺳﻤﻊ Mendengar Ma'ani Sami ﺍﻟﺻمم Tuli Basar ﺑﺼﺮ Melihat Ma'ani Al-Umyu ﺍﻟﻌﻤﻲ Buta Kalam ﻛﻼ ﻡ Berbicara Ma'ani Al-Bukmu ﺍﻟﺑﻜﻢ Bisu Qaadiran ﻛﻮﻧﻪ ﻗﺎﺩﺭﺍ Keadaan-Nya yang berkuasa Ma'nawiyah Ajizan ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﺟﺰﺍ Keadaan-Nya yang lemah Muriidan ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺮﻳﺪﺍ Keadaan-Nya yang berkehendak menentukan Ma'nawiyah Mukrahan ﻛﻮﻧﻪ مكرها Keadaan-Nya yang tidak menentukan (terpaksa) 'Aliman ﻛﻮﻧﻪ ﻋﺎﻟﻤﺎ Keadaan-Nya yang mengetahui Ma'nawiyah Jahilan ﻛﻮﻧﻪ ﺟﺎﻫﻼ Keadaan-Nya yang bodoh Hayyan ﻛﻮﻧﻪ ﺣﻴﺎ Keadaan-Nya yang hidup Ma'nawiyah Mayitan ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻴﺘﺎ Keadaan-Nya yang mati Sami'an ﻛﻮﻧﻪ ﺳﻤﻴﻌﺎ Keadaan-Nya yang mendengar Ma'nawiyah Ashamma ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺻﻢ Keadaan-Nya yang tuli Bashiiran ﻛﻮﻧﻪ ﺑﺼﻴﺭﺍ Keadaan-Nya yang melihat Ma'nawiyah A'maa ﻛﻮﻧﻪ ﺃﻋﻤﻰ Keadaan-Nya yang buta Mutakalliman ﻛﻮﻧﻪ ﻣﺘﻜﻠﻤﺎ Keadaan-Nya yang berbicara Ma'nawiyah Abkam ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺑﻜﻢ Keadaan-Nya yang bisu 2. Mengenal Allah Melalui Hidayah-Nya Allah memberikan Hidayah kepada makhluknya untuk menjalankan hidupnya dengan mudah sesuai dengan karakteristiknya masing-masing: 2.1. Instink (Gharizah) Merupakan hidayah yang dianugerahkan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada binatang. Secara Instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang-orang primitif. Tylor justru mengatakan bahwa animisme –anggapan adanya kehidupan pada benda-benda mati– merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa Animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal – usul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang suka mengalami mimpi. Di dalam mimpi, seorang dapat berteman terhadap, bercakap-cakap, bercengkerama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam lainnya. Abbas Mahmoud Al-Akkad, pada bagian lain, mengatakan bahwa sejak pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap benda – benda alam berkembang secara beragam. Di Mesir, masyarakatnya memuja Totetisme. Mereka menganggap suci terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa ( semacam anjing hutan ), buaya, dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari. Dari sini berkembang lagi menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif, telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William L. Reese mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos ( thelogia was originally viewed as concerned with myth ). Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi “ theology natural “ ( teologi alam ) dan “revealed theology “ ( teologi wahyu ). 2.2. Panca Indra Yaitu, petunjuk yang dianugerahkan berupa pendengaran, penglihatan, penciuman, dll. Dengan indra, manusia dapat membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya. Akan tetapi, hidayah dalam bentuk ini belum dapat mengantarkan manusia kepada kebenaran, karena kemampuannya yang sangat terbatas. Karena itu, Allah SWT.. menyempurnakan hidayah ini dengan hidayah akal. Setiap manusia mempunyai pendapat dan prinsip tersendiri terhadap apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan.Setelah kita mengenal Tuhan melalui Insting selanjutnya kita mengenal Tuhan melalu Panca Indra. Dari 5 panca indra kita yang berfungsi, kita dapat melihat bahwa kebesaran Allah ada dimana-mana, dari sekeliling kita sudah banyak bukti-bukti kebesaran Allah yang kita jumpai. Seperti halnya Lautan yang membentang lepas dua benua, gunung-gunung dengan fenomena lautan, awan, dan lain sebagainya. Tidak hanya dari penglihatan namun kita juga bisa mendengar, contoh kecil saja kita dapat mendengar orang-orang atau makhluk hidup disekitar kita, kita dapat mendengar deburan ombak yang padahal hanyalah benda mati namun itulah kekuasaan Allah. Selain melihat dan mendengar kita juga dapat mengenal Tuhan dengan cara merasakan, merasakan hal-hal yang tak kasat mata seperti angin, merasakan dinginnya hawa dan air disekitar pegunungan, dan lain sebagainya. 2.3 Akal Yaitu, hidayah akal berupa kemampuan akal untuk memikirkan, memahami, dan mengetahui suatu objek, yang akan dapat membawanya kepada kebenaran dan keselamatan hidup. Al-Qur’an menganjurkan manusia agar memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya, serta memeikirkan, memahami, dan mengetahui seluk beluknya sebagai ciptaan Allah SWT. Guna memantapkan keimanannya, seperti terlihat pada Q.S. Ali Imron : 190 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda – tanda begai orang-orang yang berakal. Nalar / akal berfungsi dalma batasan-batasan panca indra dan tidak bisa lepas darinya. Akal jarang sekali mampu menangkap apa yang di luar jangkauan panca indera, bahkan dalam kegiatan lahiriah kadang bertentangan dengan nafsu, dan seringkali nafsu itulah yang mennag. Akal dengan jelas menunjukkan bahwa suatu perbuatan tertentu akan menyebabkan luka, akan tetapi nafsu memaksa untuk mengabaikan akal. Di sinilah dibutuhkan hidayah yang keempat, yaitu hidayah Ad-Dien yang merupakan karunia ilahi kepada manusia yang terbesar. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diperoleh dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib . Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah pula wajib . Dari aliran Asyariah, Al-Aasyari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah diatas. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyu lah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterimakasih kepadaNya juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepadaNya akan mendapat hukuman. Pendapat Al-Asy’ari akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Tapi wahyu membawa kewajiban-kewajiban itu. Menurut Al-Baghdadi, akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan karena segala kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Al-Ghazali, seperti Al-Asy’ari dan Al-Baghdadi, juga berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia ; kewajiban-kewajiban dapat ditentukan oleh wahyu. Adapun pendirian Al-Syahrastani, itu dapat diketahui dari buku-buku yang berjudul Nihayah al-iqdam fi ‘ilm al-kalam. Ia sependapat dengan Al-Asy’ari. Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterimakasih kepada Tuhan. Dengan demikian bagi Al-Maturidi akal dapat mengetahui 3 persoalan pokok, sedangkan yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui melalui wahyu. 2.3. Agama Hidayah Ad-Dien (Petunjuk Agama), yaitu berupa wahyu yang diturunkan Allah SWT.. kepada Rasul untuk disampaikan kepada umatnya atau kepada manusia seluruhnya, untuk dijadikan sebagi pedoman hidup guna mencapai kebahagiaan haqiqi di dunia dan akhirat. Wahyu tersebut kemudian dibukukan dan disebut kitab suci. Kitab suci terakhir yang diturunkan Allah kepada umatnya ialah Al-Qur’an, yang diturunkan Allah SWT.. kepada Nabi Muhammad SAW.. sebagai hidayah untuk segenap manusia. Hidayah hanya milik Allah SWT. Oleh sebab itu, tidak seorang pun yang dapat memberikannya selain Allah SWT; baik dalam bentuk hidayah yang umum atau yang khusus. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah SWT.. dalam (Q.S. Al-Qashas : 56) Sesungguhnya kamu tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakinya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerimapetunjuk.” BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Dari penjelasan yang telah penulis uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa: Setelah mengetahui sifat – sifat Tuhan dan hidayah-Nya penulis dan pembaca dapat mengenal Tuhan dengan sesungguhnya tidak hanya pada saat-saat tertentu dan dapat menjalankan segala perintah serta menjauhi segala larangan-Nya. Dan hal yang muncul adalah rasa takut dan senantiasa bertawakal, berharap, menggantungkan diri dan tunduk hanya kepada Allah semata yang maha segala – galanya. Sesungguhnya apa yang Tuhan ciptakan, apa yang ada dalam diri manusia sendiri adalah semua untuk menunjukan kekuasaan-Nya supaya manusia senantiasa bersyukur dan tidak menyombongkan diri atas-Nya. Instink, Panca Indra, Akal, dan Agama semuanya menjawab dari manakah kita sesungguhnya, sehingga manusia dengan akalnya yang sehat bisa mengenal siapa Dien-Nya. Dengan segala kekurangan dalam makalah ini, penulis mohon maaf. Semoga makalah ini sedikit banyaknya dapat bermanfaat dan dapat semakin mendekatkan pembaca dengan Tuhan-Nya. DAFTAR PUSTAKA Al-Akkad, op. cit., hlm. 14 Al Iqtisad, hal 84 Al-milal., I/42 Ibid hal. 15, 42, 50, 51, 45, 101. Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press) Salemba. 1972. Cet. Ke-5 Raziq, op., cit., hlm. 450 http://jalanlurus.blogspot.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1 dilihat pada 17 Maret 2015

Jumat, 02 Oktober 2015

Kesimpulan Film GIe

Kesimpulan Film “SOE HOK GIE” Gie tidak suka dengan organisasi, Gie ingin melihat mahasiswa jika mengambil keputusan yang mempunyai arti politis didasari prinsip yang dewasa benar benar salah salah. Tidak mengatakan benar atas nama agama ormas atau golongan apapun. Cara kebijakan pemerintahan bertentangan bahkan menindas rakyat dengan asas kerakyatan, kebijaksanaan, dan musyawarah. Demokrasi terpimpin hanya sebagai topeng untuk menindas demokrasi itu sendiri. Kita punya pemimpin, yang diakui sebagai founding father, bukan berarti punya kekuasaan absolut untuk menentukan hidup, nasib kita. Apalagi kita sadar adanya penyelewengan dan ketidakadilan. Kalau hanya menunggu dan menerima nasib, kita tidak pernah tau kesempatan yang ada di hidup ini. sederhananya Gie hanya ingin perubahan, supaya hidup lebih baik. Aku tak mau pengenal, aku pengen jadi pohon yang jadi penantang angin. Dalam usahanya membuat kenaikan harga, sasarannya rakyat supaya tidak memikirkan rakyat, mereka hanya mikirkan perut. Kammi akan turun ke jalan dengan tiga tuntutan: 1. Bubarkan PKI 2. Ganti menteri-menteri yang berbau PKI 3. Kembali kepada Pancasila Lebih baik mahasiswa yang bergerak. “Gie, kamu kotor sekali, bau lagi. Kadang mama berfikir, untuk apa kamu lakukan semua ini.” Beberapa tokoh mahasiswa melarang tiba-tiba punya mobil bagus, bahkan beberapa di antara mereka memperkaya diri secara tidak halal dengan kedudukan mereka. Banyak yang mengeluh Gie keras kepala, dan selalu mencari masalah. Biarlah, lebih baik diasingkan daripada menyerah karena kemunafikan. “Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda. Yang tersial adalah yang menunggu tua.”

Hadist dan Sunnah

Hadits dan Sunnah Kalau kita memakai pendapat yang dominan di kalangan para ahli hadits, terutama dari angkatan baru, maka kita akan tahu bahwa sesungguhnya hadits dan sunnah itu memiliki pengertian yang sama, yang satu bisa digunakan untuk yang lain. Masing – masing (Hadits dan Sunnah) berkaitan dengan ucapan, perbuatan, atau penetapan Nabi SAW, namun, jika keduanya dekembalikan kepada asal-usul kesejarahannya, ternyata terdapat sedikit perbedaan antara keduanya dalam penguunaan, baik dari segi bahasa maupun istilah. Hadits, sebagaimanan tinjauan Abdul Baqa adalah isim (kata benda) dari tahdits yang berarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. arti “Pembicaraan” ini telah dikenal oleh masyarakat Arab di zaman jahiliyah sejak mereka menyatakan “Hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ahadits (buah pembicaraan) barang kali al-Farra’ telah memahami arti ini ketika berpendapat bahwa mufrad kata ahadits adalah uhdutsah (buah pembicaraan). Lalu kata ahadits itu dijadikan jamak dari kata hadits. Dari sini, populer ungkapan shaara uhdutsah atau shaara haditsan (dia menjadi buah pembicaraan), jika (dia) dijadikan pepatah. Penyair Abu Kildah munggunakan kata atsal (pepatah) dan uhdusah dalam sebaris puisinya, seolah – olah untuk menunjukkan kesamaan arti keduanya: “janganlah jadi buah pembicaraan seperti pembicara, Yang dijadikan pepatah oleh mereka yang berpepatah. Betapapun materi hadits diubah-ubah, kita selalu dapat menemukan arti pembicaraan secara jelas di dalamnya, termasuk dalam firman Allah Ta’ala: Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat (Perkataan/pembicaraan) semisal al-Qur’an (surah ath – thur, 34, dan firman Allah: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al – Qur’an yang serupa (mutu ayat – ayatnya)” (Surah Az – Zumar, 23) Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti baru dalam kata hadits lalu merekam menggunakannya sebagai lawan kata qadim (lama), dengan memaksudkan qadim sebagai kitab Allah, sedangkan yang baru ialah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW.. dalam Syarah al – Bukhari, Syeikh Islam Ibnu Hajar berkata: “yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian Syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. dan hal itu seakan-akan dimakudkan sebagai bandingan al-Qur’an adalah Qadim. Ini menerangkan dengan sangat jelas kepada kita akan keengganan sebagian besar ulama menggunakan nama hadits untuk kitab Allah, atau mengganti “kalam Allah”. Bahkan dalam sunan Ibnu majah terdapat sebuah riwayat hadits nabi yang nyaris memastikan keharusan sikap dan tata krama tersebut. Bersumpah dari Abdullah bin Mas’ud, disebutkan bahwa Rasulullah SAW.. pernah bersabda, “Sesungguhnya hanya ada dua: kalam dan petunjuk. Sebaik – baik kalam adalah kalam Allah dan sebaik – baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Kalau kita menjumpai dalam kebanyakan kitab sunan ungkapan: “sesungguhnya sebaik – baik hadits (perkataan) adalah kitab Allah,” lalu kita menemukan Ibnu Majah sendiri meriwayatkan,” sebaik – baik kalam..” maka tahulah kita bahwa tidak mustahil wara’ (Sikap menghindar dan tata krama) itulah yang mendorongnya memilih ungkapan tersebut. Sedikitnya dasar pegangan kita untuk itu adalah bahwa di kalangan ulama ada yang merasa berat menggunakan kata hadits untuk kitab Allah yang Qadim. Nabi SAW.. sendiri menanamkan sabdanya sebagai hadits. Dan agaknya dengan penamaan itu beliau membedakan apa yang disandarkan kepada beliau dengan yang lainnya. Sehingga seakan – akan beliaulah yang meletakkan dasar – dasar bagi penamaan hadits selanjutnya. Suatu hari Abu Hurairah datang kepada Nabi SAW.. untuk menanyakan tentang orang yang paling berbahagia memperoleh syafaat beliau tahu tak seorang pun pernah menanyakan hadits (pembicaraan) ini sebelum Abu Hurairah. Itu adalah karena antusiasmenya mencari hadits. Sunnah pada dasarnya tidak sama dengan hadits. Mengikuti arti bahasanya, sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi SAW.. yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Apabila hadits bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka sunnah khusu berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau. Karena perbedaan dua pengertian ini, kadang – kadang kita mendapati uacapan ahli hadits: hadis menyalahi kias, sunnah dan ijma’. Atau ucapan: Imam dalam hadis”, imam dalam sunnah, imam dalam keduanya. Yang lebih aneh lagi, kedua pengertian tersebut satu sama lain justru saling menguatkan, seakan – akan berbeda sama sekali, sehingga sah saja bila Ibnu Nadim menyebutkan sat kitab dengan judul: Kitab Sunan dengan Dalil Hadits. Ketika islam memberi jalan dengan kata sunnah, orang – orang arab tidak terkejut. Mereka sudah mengenalnya dengan arti ini, sebagaimana mereka mengenal lawan katanya, bid’ah. Mereka paham sekali makna itu, sampai ketika disandarkan kepada Asma Allah yang agung, seperti dalam firman-Nya: sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang – orang yang telah terdahulu sebelumnya.” (Surah Al – Ahzab: 62). Adapun orang – orang yang mendengar lafadz sunnah itu dari Nabi seperti dalam sabdanya: “hendaknya kalian berpegang teguh kepeda Sunnah-Ku”, maka pada saat itu adalah jalan dan cara Nabi SAW.. dalam kehidupan beliau, baik yang bersifat khusu maupun umum. Madinah al – Munawwarah seperti yang akan kita ketahui Kendati di banyak kalangan sebutan sunnah lain dengan sebutan hadits, setidak tidaknya anggapan adanya persamaan , atau kemiripan konotasi antara keduanya menghinggapi para kritikus hadits, bukankah sunnah amaliyah itu tidak lain daripada thariqah. Nabi yang oleh beliau dikuatkan dengan sabda – sabdanya yang bijaksana, dan petunjuk – petunjuknya yang benar lagi terarah? Apakah tpik sunnah itu berbeda dengan topik hadits?