Rabu, 23 Desember 2015

Belum Melupakan = Tidak Ikhlas (?)

Manusia mana yg tidak sakit ketika dijudge sana sini. Padahal apa yang dilakukan tidak bermaksud seperti apa yang dimaksud yang lain. Memang ketika menghadapi masalah tidak usah berlarut-larut. Tapi gimana Lagi? Hati udah terlanjur sakit. Ketika hati Sudah sakit, kecewa langsung penuh memenuhi hati. Kecewa yang entah seperti apa entahlah, yang hati transferkan ke fikiran pokoknya rasa yang sangat sulit untuk digambarkan. Digambarkan saja sangat sulit, apalagi dimaafkan. Logikanya seperti itu. Bicara dalam konteks saya yang juga manusia. Manusia makhluk paling luar biasa yg Allah ciptakan, makhluk paling sempurna di dunia. Namun, dibalik kesempurnaannya itu manusia mempunya kejelekan yang amat sangat besar, yaitu nafsu. Karena menuruti hal itulah kadang manusia terjebak di lembah kesalahan yang sangat dalam. Kesalahan-kesalahan itu pun kadang tidak sengaja dibuat. Secara tidak sadar manusia menuruti nafsunya. Jika ketika menuruti nafsu tersebut manusia bisa menempatkannya, hal itu alangkah lebih Indah. Karena setiap hal dilakukan sesuai dengan tempatnya, dan dengan konteks masing-masing.
Jujur, secara pribadi, ketika saya melihat orang-orang yang benar-benar nafsu dalam melakukan sesuatu untuk keaenangan dunia sungguh kecewa. Nafsu bukan berarti ia semangat, namun nafsu ingin dipuji sesamanya. Kata Khalifah Ali ibn Thalib "Langit tidak perlu mengatakan ia tinggi, semua orang Sudan tahu." Harusnya manusia sekarang bisa menerapkan kalimat tersebut. Tanpa harus cari muka kesana kemari pasti kecakapan kita dalam sesuatu kalo benar-benar bisa pasti mereka tahu dengan sendirinya. Dan pasti yang butuh akan mencarinya sendiri. Boleh menunjukkan kemampuan, tapi dalam konteks bukan mencari muka.
Ngomong-ngomong ke masalah sakit hati, kecewa, dan berujung belum bisa melupakan kesalahan. Inget kata-kata almarhum Abdurrahman Wahid alias Gusdur pernah mengatakan "Maafkanlah musuh-musuhmu, tapi janganlah melupakan kesalahannya." Kalo menjabarkan kalimat tersebut tujuan dari 'Jangalan melupakan kesalahan', ketika seseorang berbuat yang tidak mengenakan untuk hati kita, tentu juga tidak mengenakan di hati orang lain. Jadi, kesalahan yang dilakukan orang lain pada kita jangan sampai juga kita lakukan kepada orang lain. Perlakukanlah orang seperti kita ingin diperlakukan. So, jangan egois, maunya dibaikin, tapi sama orang lain tak mau baik. Rasulullah tidak pernah mengajarkan ajaran seperti itu. Rasulullah merupakan suri tauladan yang baik, yang senantiasa mengajarkan umatnya akan kebaikan meskipun setelah dihina. Bagaimana damainya dunia ini ketika semua orang mengaktualisasikan apa yang diajarkan Rasulullah. Namun hal itu sungguh tidak mungkin, ada kebaikan pasti beriring dengan kejelekan. Itu sudah pasti, hingga bumi ini kiamat. Tidak ada yang bisa diubah.
Kata-kata lebih tajam dari pedang. Apa yang dikeluarkan lisan tidak bisa diambil lagi. Muncullah undang-undang pencemaran nama baik. Yang digunakan oleh orang-orang yang merasa tidak terima dengan ucapan manusia yang senantiasa mempunyai banyak khilaf. Belajar dari hal ini, berhati-hatilah dalam berucap di manapun dan kapanpun. Karena ada undang-undang yang mengaturnya. Jaga mulut, jaga hati, jaga mata. Jaga, pergunakan sesuai fungsinya, dan pergunakan sebaik mungkin, jangan sampai menyakiti hati manusia lain. Disengaja maupun tidak.
Jadi, saat hati belum bisa melupakan kesalahan, belum tentu siempunya hati belum memaafkan ataupun belum bisa mengikhlaskan. Tapi, merenungkan hal itu terlebih dahulu. Betapa menyakitkan hatinya. Lalu terapkan di kehidupannya agar tidak ia lakukan juga ke orang lain, baik secara sengaja atau tidak sengaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar