Jumat, 25 September 2015

Periwayatan Hadits

Mushtolah Hadits  Periwayatan hadits Nabi oleh rawi dilakukan dengan dua cara, yaitu diriwayatkan dengan lafadz aslinya sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi dan diriwayatkan dengan maknanya saja karena rawi tidak hafal benar lafadz aslinya. Mengenai periwayatan cara pertama, tidak ada perbedaan pendapat tentang kebolehannya. Sedangkan periwayatan hadits dengan makna merupakan masalah ilmu riwayah hadits yang paling penting karena padanya terjadi perbedaan pendapat dan ketidakjelasan serta banyak problematikanya. a. Riwayat Al-Hadits bi Al-Lafdz dan bi Al-Ma’na • Riwayat Al-Hadits bi al-Lafdz Disamping para ulama begitu bersemangat dalam menghafal, memindahkan dan me-njaga dengan sungguh-sungguh hadits Nabi, ulama juga bersemangat untuk menyampaikan hadits persis seperti yang mereka’dengan tanpa penggantian dan perubahan sedikitpun. Periwayatan hadits seperti ini adalah periwayatan hadits dengan lafadz (riwayat hadits bi al-Lafdz). Periwayatan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan dengan lalfal asli sebagaimana para sahabat menerimanya dari Nabi. Hal ini dikarenakan para sahabat tersebut hafal benar atas apa yang diucapkan Nabi. LafaI asli yang dimaksud adalah isi atau matan hadits secara keseluruhan yang diucapkan oleh Nabi tidak kurang dan tidak lebih. Dengan demikian, hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafadz aslinya hanya berlaku bagi hadits-hadits qauliyah (ucapan) yang hapal benar lafadz aslinya dari Nabi. Dr. Ahmad Umar Hasyim mendefinisikan periwayatan hadits dengan lafadz sebagai berikut: اما الرواية بالفظ فهي رواية الحديث على النحو الذي تحمله الراوى وبالفظ الذى سمعه دون تغيير او تبديل او زيادة او نقص او تقديم او تأخير “Adapun riwayat bi al-lafadz adalah meriwayatkan hadits dengan contoh yang dikemukakan oleh rawi dan dengan lafadz yang didengarnya tanpa peruhahan atau penggantian, penambahan atau pengurangan dan (tanpa) mendahulukan atau mengakhirkan.” Dan menurutnya, hukum meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah boleh tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ulama, bahkan periwayatan hadits seperti ini merupakan periwayatan yang paling tinggi dan paling kuat selama memenuhi syarat-syarat keshahihannya. • Riwayat al-Hadits bi al-Ma’na Sehubungan dengan keterbatasan ingatan atau hafalan para sahabat terhadap hadits yang disampaikan oleh Nabi, maka ada kalanya para sahabat meriwayatkan dengan makna atau maksudnya saja karena mereka tidak ingat lafadz yang aslinya. Periwayatan seperti itu dikenal dengan periwatan dengan makna (riwayat al-had’its bi al nta’na). Sehubungan dengan hal itu, maka para sahabat meriwayatkan hadits Nabi dengan redaksi kalimat yang disusun oleh mereka sendiri, karena mereka tidak hafal ucapan yang aslinya atau kesimpulan dari apa yang diperbuat Nabi atau yang disabdakannya. Oleh karena itu banyak ha’dits yang mempunyai maksud yang sama tetapi matannya berbeda-beda. Ahmad Umar Hasyim mendefinikan riwayat hadits dengan makna sebagai berikut: واما الروية بالمعنى فمرادبها أداء الحديث وروايته بمعناه سواء كان اللفظ كله من عند الراوى أو بعضه بشرط ان يحافظ على المعنى “Dan adapun riwayat bi al-ma’na, yang dimaksud dengannya adalah penyampaian hadits dan periwayatannya dengan maknanya baik seluruh lafadznya dari rawi atau sebagian dengan syarat ia memelihara maknanya.” b. Riwayat Al-Hadits bi al-Ma’na Qobla Tadwin al-hadits Adapun Ajaj Al-Khathib dalam kitabnya Ushul al-Hadits memaparkan secara terperinci mengenai periwayatan secara makna. Menurutnya secara mayoritas ulama cenderung berpendapat bahwa seorang penulis muhaddits boleh meriwayatkan hadits secara makna, tidak dengan lafadz aslinya, bila ia memahami bahasa Arab dengan segala seluk beluknya dan mengerti makna-makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. c. Riwayat Al-Hqdits bi Al-Ma’na Ba’da Tadwinul al-Hadits Setelah hadits dibukukan dalam sebuah kitab maka perbedaan pendapat di atas telah hilang dan periwayatan hadits harus mengikuti lafadz yang tertulis dalam kitab itu, sehingga tidak perlu lagi menerima periwayatan hadits dengan makna. Oleh karena itu, sekarang tidak diperbolehkan seorang pun meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, kecuali sekedar mengingatkan hadits tersebut dalam majlis-majlis ta’lim, sedangkan dalam rangka berhujjah atau mengutip dalam karya tulis, maka harus dengan lafadznya d. Aspek Epistimologi dan Aksiologi Riwayat Al-Hadits bi Al-Lafdz wa bi al-Ma’na Dari segi lafdziyah, untuk mengetahui bahwa suatu hadits diriwayatkan secara lafadz dari hadits-hadits yang telah dibukukan dalam kitab hadits adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Hal ini di karenakan baik dari segi sanad, rawi. sebelum atau sesudah matan-matan hadits tersebut tidak ditemukan ciri-ciri khusus yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan lafadz. Di samping itu, tidak semua sahabat dilarang oleh Nabi untuk mencatat segala sesuatu yang berasal dari beliau, tetapi ada beberapa sahabat yang diizinkan untuk mencatat atau menuliskannya, seperti Abdullah bin Amr, Safi’ Ibn Khudaij. Anas bin Malik dan Amr lbn Hazam. Kemudian ciri-ciri hadits qauli : berisi tentang ucapan atau anjuran dari rasulullah SAW dari segi periwayatannya lebih sering menggunakan kata-kata “sami’tu rasulullahi” atau “sami’tu an rasulullahi” yang artinya “ aku mendengar dari rasulullah. Sedangkan biasanya hadits fi’li : hadits tersebut menceritakan tentang perbuatan yang dilakukan oleh rasul dari segi periwayatannya banyak menggunakan kata-kata “roaitu rasulullahi” yang artinya “aku melihat rasulullah”.  Dari segi fungsional hadits qauli lebih kuat dalam segi hujjah dari pada hadits fi’li , dan jika ada hadits qauli dan hadits fi’li yang kelihatannya bertentangan maka yang lebih dikuatkan adalah hadits qauli, karna terkadang ada beberapa perbuatan atau fi’liyah yang memang hanya dikhususkan untuk rasulullah SAW tidak kepada ummatnya.  Hadits Taqriri Hadits taqriri yaitu semua hadits yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabat. Yaitu persetujuan Nabi SAW terhadap amalan yang dilakukan para sahabat, setelah memenuhi beberapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya. Contoh hadits taqriri, ialah sikap Nabi SAW membiarkan para sahabatnya melaksanakan perintahnya, sesuai dengan penafsiran masing-masing sahabat terhadap sabdanya yang berbunyi: لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظـة (رواه البخاري) “Janganlah seorang pun shalat ‘asar kecuali di Bani Quraizah”. Sebagian sahabat memahami larangan tersebut berdasarkan pada hakikat perintah tersebut, sehingga mereka tidak melaksanakan salat ‘asar pada waktunya. Sedang segolongan yang lain memahami perintah tersebut dengan perlunya segera menuju Bani Quraizah, sehingga bisa tepat waktu dalam melaksanakan shalat ‘asar. Sikap para sahabat ini dibiarkan Nabi SAW tanpa disalahkan atau dibenarkan salah satunya. Hadits Hammi Hadits Hammi, secara bahasa yaitu, cita-cita, rencana, atau keinginan. Atau hadits yang berupa hasrat atau keinginan Nabi SAW yang belum terealisasikan atau belum terlaksana, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam riwayat Ibn Abbas, disebutkan; عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ حِيْنَ صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَزْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ التَّاسِعْ. {رواه أبوداود} “Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Ketika Nabi Saw. Berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’. Rasul Saw. Kemudian bersabda, ‘Tuhan yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.” (H.R. Abu Dawud).” Nabi SAW belum sempat merealisasikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum sampai bulan ‘Asyura tahun berikutnya. Menurut para ulama, termasuk Imam Syafi’I dan para pengikutnya, menjalankan hadits hammi ini disunnahkan. Sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah lainnya. Hadits Ahwali Adalah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW. Secara bahasa merupakan bentuk jamak dari hal yang berarti keadaan, Yang dimaksud dengan hadits ahwali ialah hadits yang menggambarkan atau yang menyangkut keadaan fisik Nabi Muhammad SAW, sifat-sifat dan kepribadian Beliau. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahabat Rasulullah SAW yang bernama Al-Barra’ yang diriwayat Bukhari: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس وجها وأحسنه خلقا ليس بالطويل البـائن ولا بالقصير (رواه البخارى) “Rasulullah SAW, adalah manusia yang sebaik-baik rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pula pendek.” (HR. Bukhari) كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا {متفق عليه} “Rasulullah SAW, adalah orang yang paling mulia akhlaknya. (Mutafaq’alaih).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar